BAB 5
MENGEMBANGKAN
SIKAP SYAJA’AH”
A. PENGERTIAN SYAJA’AH
Secara etimologi
kata al-syaja’ah berarti berani antonimnya dari
kata al-jabn yang berarti pengecut. Kata ini digunakan untuk
menggambarkan kesabaran di medan perang. Sisi positif dari sikap berani yaitu
mendorong seorang muslim untuk melakukan pekerjaan berat dan mengandung resiko
dalam rangka membela kehormatannya. Tetapi sikap ini bila tidak digunakan
sebagaimana mestinya menjerumuskan seorang muslim kepada kehinaan.
Syaja’ah dalam kamus
bahasa Arab artinya keberanian atau keperwiraan, yaitu seseorang yang
dapat bersabar terhadap sesuatu jika dalam jiwanya ada keberanian menerima
musibah atau keberanian dalam mengerjakan sesuatu. Pada diri seorang pengecut
sukar didapatkan sikap sabar dan berani. Selain itu Syaja’ah (berani)
bukanlah semata-mata berani berkelahi di medan laga, melainkan suatu sikap
mental seseorang, dapat menguasai jiwanya dan berbuat menurut semestinya.
B. PENERAPAN SYAJA’AH DALAM
KEHIDUPAN
Sumber keberanian yang dimiliki seseorang diantaranya yaitu :
1) Rasa
takut kepada Allah Swt.
2) Lebih
mencintai akhirat daripada dunia.
3) Tidak
ragu-ragu, berani dengan pertimbangan yang matang.
4) Tidak
menomor satukan kekuatan materi.
5) Tawakal
dan yakin akan pertolongan Allah.
Jadi berani adalah: “Sikap dewasa dalam menghadapi kesulitan atau bahaya ketika mengancam. Orang yang melihat kejahatan, dan khawatir terkena dampaknya, kemudian menentang maka itulah pemberani. Orang yang berbuat maksimal sesuai statusnya itulah pemberani (al-syujja’). Al-syajja’ah (berani) bukan sinonim‘adam al-khauf (tidak takut sama sekali)”
Berdasarkan pengertian
yang ada di atas, dipahami bahwa berani terhadap sesuatu bukan berarti
hilangnya rasa takut menghadapinya. Keberanian dinilai dari tindakan yang
berorientasi kepada aspek maslahat dan tanggung jawab dan berdasarkan
pertimbangan maslahat.
Predikat pemberani bukan
hanya diperuntukkan kepada pahlawan yang berjuang di medan perang. Setiap
profesi dikategorikan berani apabila mampu menjalankan tugas dan kewajibannya
secara bertanggungjawab. Kepala keluarga dikategorikan berani apabila mampu
menjalankan tanggungjawabnya secara maksimal, pegawai dikatakan berani apabila
mampu menjalankan tugasnya secara baik, dan seterus nya.
Keberanian terbagi kepada
terpuji(al-mahmudah) dan tercela (al-madzmumah). Keberanian yang
terpuji adalah yang mendorong berbuat maksimal dalam setiap peranan yang
diemban, dan inilah hakikat pahlawan sejati. Sedangkan berani yang tercela
adalah apabila mendorong berbuat tanpa perhitungan dan tidak tepat
penggunaannya.
C. KEUTAMAAN SYAJA’AH
Dalam ayat ini rasa takut itu dapat dikendalikan dan bahaya dari hal yang ditakuti itu dapat diperkecil atau dihindari. Oleh karena itu orang yang mempunyai sifat syaja’ah memiliki ketenangan hati dan kemampuan mengolah sesuatu dengan pikiran tenang.
Menurut Ibnu
Miskawih, sifat Syaja’ah mengandung keutamaan-keutamaan sebagai
berikut :
1. Jiwa
besar, yaitu sadar akan kemampuan diri dan sanggup melaksanakan pekerjaan besar
yang sesuai dengan kemampuannya. Bersedia mengalah dalam persoalan kecil dan
tidak penting Menghormati tetapi tidak silau kepada orang lain.
2. Tabah,
yaitu tidak segera goyah pendirian, bahkan setiap pendirian keyakinan
deipegangnya dengan mantap
3. Keras
Kemauan, yaitu bekerja sungguh-sungguh dan tidak berputus asa serta tidak mudah
dibelokkan dari tujuan yang diyakini
4. Ketahanan,
yaitu tahan menderita akibat perbuatan dan keyakinannya
5. Tenang,
yaitu berhati tenang, tidak selalu menuruti perasaan (emosi) dan tidak lekas
marah
6.
Kebesaran,
yaitu suka melakukan pekerjaan yang penting atau besar
D. SYAJA’AH DAPAT
DIBAGI MENJADI DUA MACAM:
1.
Syaja’ah
harbiyah, yaitu keberanian yang kelihatan atau tampak, misalnya keberanian
waktu menghadapi musuh dalam peperangan (al-Jihad fi Sabilillah).
Allah berfirman (244) وَقَاتِلُواْ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
artinya : “dan berperang lah
kamu di jalan allah, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui
“ ( Qs. Al- baqarah: 244)
2.
Syaja’ah
nafsiyah, yaitu keberanian menghadapi bahaya atau penderitaan dan menegakkan
kebenaran
3.
Keberanian
mengatakan kebenaran sekalipun didepan penguasa yang DzalimDari Abu Sa’id Al
Khudri, NabiMuhhammad saw bersabda :
أَفْضَلُ
الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Artinya “Jihad yang paling utama ialah
mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR.
Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011. Al Hafizh Abu Thohir
mengatakan bahwa hadits ini hasan).
4.
Keberanian
untuk mengendalikan diri tatkala marah sekalipun dia bisa
melampiaskannya dan firman Allah swt:
وَأَمَّا
مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى
Artinya “Dan adapun orang-orang yang takut
kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka
sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).”(Q.S. An-Nazia’at 40- 41.)
Munculnya sikap syaja’ah tidak terlepas dari keadaan-keadaan sebagai berikut:
1.
Berani
membenarkan yang benar dan berani mengingatkan yang salah.
2.
Berani
membela hak milik, jiwa dan raga, dalam kebenaran.
3.
Berani
membela kesucian agama dan kehormatan bangsa.
Dari dua macam syaja’ah(keberanian) tersebut di atas, makasyaja’ahdapat dituangkan dalam beberapa bentuk, yakni:
a.
Memiliki
daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan mungkin saja
bahaya dan penyiksaan karena ia berada di jalan Allah.
b.
Berterus
terang dalam kebenaran dan berkata benar di hadapan penguasa yang zalim.
c.
Mampu
menyimpan rahasia, bekerja dengan baik, cermat dan penuh perhitungan. Kemampuan
merencanakan dan mengatur strategi termasuk di dalamnya mampu menyimpan rahasia
adalah merupakan bentuk keberanian yang bertanggungjawab.
Munculnya sikap syaja’ah tidak terlepas dari keadaan-keadaan sebagai berikut:
1)
Berani
membenarkan yang benar dan berani mengingatkan yang salah.
2)
Berani
membela hak milik, jiwa dan raga, dalam kebenaran.
3)
Berani
membela kesucian agama dan kehormatan bangsa.
Dari dua macam syaja’ah (keberanian) tersebut di atas, maka syaja’ah dapat dituangkan dalam beberapa bentuk, yakni:
1.
Memiliki
daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan mungkin saja
bahaya dan penyiksaan karena ia berada di jalan Allah.
2.
Berterus
terang dalam kebenaran dan berkata benar di hadapan penguasa yang zalim.
3.
Mampu
menyimpan rahasia, bekerja dengan baik, cermat dan penuh perhitungan. Kemampuan
merencanakan dan mengatur strategi termasuk di dalamnya mampu menyimpan rahasia
adalah merupakan bentuk keberanian yang bertanggung jawab.
4.
Berani
mengakui kesalahan salah satu orang yang memiliki sifat pengecut yang tidak mau
mengakui kesalahan dan mencari kambing hitam, bersikap ”lempar batu sembunyi
tangan” Orang yang memiliki sifat syaja’ah berani mengakui kesalahan,
mau meminta maaf, bersedia mengoreksi kesalahan dan bertanggung jawab.
5.
Bersikap
obyektif terhadap diri sendiri. Ada orang yang cenderung bersikap “over con
dence” terhadap dirinya, menganggap dirinya baik, hebat, mumpuni dan tidak
memiliki kelemahan serta kekurangan. Sebaliknya ada yang bersikap “under
estimate” terhadap dirinya yakni menganggap dirinya bodoh, tidak mampu berbuat
apa-apa dan tidak memiliki kelebihan apapun. Kedua sikap tersebut jelas tidak
proporsional dan tidak obyektif. Orang yang berani akan bersikap obyektif,
dalam mengenali dirinya yang memiliki sisi baik dan buruk.
6.
Menahan
nafsu di saat marah, seseorang dikatakan berani bila ia tetap mampu
ber–mujahadah li nafsi, melawan nafsu dan amarah. Kemudian ia tetap dapat
mengendalikan diri dan menahan tangannya padahal ia punya kemampuan dan peluang
untuk melampiaskan amarahnya.
E. HIKMAH SYAJA’AH
Dalam ajaran agama Islam sifat perwira ini sangat di anjurkan untuk di miliki setiap muslim, sebab selain merupakan sifat terpuji juga dapat mendatangkan berbagai kebaikan bagi kehidupan beragama berbangsa dan bernegara.
Syaja’ah (perwira) akan menimbulkan hikmah dalam bentuk sifat mulia, cepat, tanggap, perkasa, memaafkan, tangguh, menahan amarah, tenang, mencintai. Akan tetapi apabila seorang terlalu dominan keberaniannya, apabila tidak dikontrol dengan kecerdasan dan keikhlasan akan dapat memunculkan sifat ceroboh, takabur, meremehkan orang lain, unggul-unggulan, ujub. Sebaliknya jika seorang mukmin kurang syaja’ah, maka akan dapat memunculkan sifat rendah diri, cemas, kecewa, kecil hati dan sebagainya.
F.
Contoh
Figur Sahabat dan Sahabiyah yang Memiliki Sifat Syaja’ah
Berani karena benar dan rela mati demi kebenaran. Slogan tersebut pantas dilekatkan pada diri sahabat-sahabat dan sahabiyah-sahabiyah Rasulullah saw. karena keagungan kisah-kisah perjuangan mereka.
Rasulullah Muhammad saw. sendiri menjadi teladan utama saat beliau tak bergeming sedikit pun ketika disuruh menghentikan dakwahnya. Beliau pun berucap dengan kata-katanya yang masyhur, “Walaupun matahari diletakkan di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan pernah menghentikan dakwahku ini”.
Keberanian dan keteguhan sikap nampak pula pada diri sepupu dan menantu Nabi saw., Ali bin Abu Thalib r.a. Ali mengambil peran yang sangat beresiko, menggantikan Rasulullah di tempat tidur untuk mengelabui musuh-musuh yang mengepung. Dan benar saja ketika tahu mereka dikelabui, mereka pun marah serta memukuli Ali hingga babak belur.
Khalifah kedua yakni Umar bin Khathab juga sangat terkenal dengan ketegasan sikap dan keberaniannya. Ketika mau hijrah berbeda dengan sahabat-sahabat lain yang sembunyi-sembunyi, Umar malah berteriak lantang, “Umar mau hijrah, barang siapa yang ingin anak istrinya menjadi yatim dan janda, hadanglah Umar”.
Keberanian mempertahankan aqidah hingga mati nampak pada Sumayyah, ibunda Ammar bin Yasir. Beliau menjadi syahidah pertama dalam Islam yang menumbuhsuburkan perjuangan dengan darahnya yang mulia. Begitu pula Khubaib bin Adiy yang syahid di tiang salib penyiksaan dan Habib bin Zaid yang syahid karena tubuhnya dipotong-potong satu demi satu selagi ia masih hidup. Mereka berani bertaruh nyawa demi mempertahankan akidah dan itu terbukti dengan syahidnya mereka berdua.
Bilal dan Khabab bin Al-Irts, yang mantan budak disiksa dengan ditimpa batu besar (Bilal) dan disetrika punggungnya (Khabab) adalah bukti bahwa keberanian tidak mengenal lapisan dan strata sosial. Ada pula anak bangsawan sepertiMush’ab bin Umair dan Sa’ad bin Abi Waqqash yang diusir dan tidak diakui lagi sebagai anak oleh orangtua mereka karena masuk Islam.
Dan akhirnya wanita-wanita perkasa dan pemberani seperti Shafiyah binti Abdul Muthalib, bibi Rasulullah saw., Nusaibah binti Ka’ab, perisai Rasulullah saw. dan Fatimah, putri Rasulullah saw. yang menjadi bukti wanita tak kalah berani dibandingkan laki-laki dalam mempertahankan kebenaran.
0 komentar:
Posting Komentar