BAB 1
BERPIKIR KRITIS DAN DEMOKRATIS
A. BERPIKIR KRITIS
Berpikir kritis didefinisikan beragam oleh para pakar. Menurut Mertes, berpikir kritis adalah “sebuah proses yang sadar dan sengaja yang digunakan untuk menafsirkan dan mengevaluasi informasi dan pengalaman dengan sejumlah sikap reflektif dan kemampuan yang memandu keyakinan dan tindakan”.
Berangkat dari definisi di atas, sikap dan tindakan yang mencerminkan berpikir kritis terhadap ayat-ayat Allah Swt. (informasi Ilahi) adalah berusaha memahaminya dari berbagai sumber, menganalisis, dan merenungi kandungannya, kemudian menindaklanjuti dengan sikap dan tindakan positif. Salah satu mukjizat al-Qur'±nadalah banyaknya ayat yang memuat informasi terkait dengan penciptaan alam dan menantang para pembacanya untuk merenungkan informasi Ilahi tersebut.
a. Q.S. Ali
'Imr±n/3:190-191
إِنَّ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ
وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ لَأٓيَٰتٖ لِّأُوْلِي
ٱلۡأَلۡبَٰبِ ١٩٠ ٱلَّذِينَ يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمٗا وَقُعُودٗا وَعَلَىٰ
جُنُوبِهِمۡ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ رَبَّنَا مَا
خَلَقۡتَ هَٰذَا بَٰطِلٗا سُبۡحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ ١٩١
Artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka. (Q.S. Ali Imron : 190-191
b. Penerapan Tajwid
No. |
Lafaz |
Hukum bacaan |
Alasan |
1 |
ٱلسَّمَٰوَٰتِ |
Idgam Syamsiyah |
Alif Lamdiikuti huruf Sin |
2 |
وَٱلۡأَرۡضِ |
Idhar Qamariyah |
Alif Lamdiikuti huruf Hamzah |
3 |
وَقُعُودٗا وَعَلَىٰ |
Idgam Bigunnah |
Tanwin diikuti huruf Wawu |
4 |
كُرُونَ |
Mad tabi’i |
Dammah diikuti
huruf Wawu mati/sukun |
5 |
خَلَقۡتَ |
Qalqalah sugra |
Huruf Qaf sukundi tengah Kata |
6 |
ٱلنَّارِ |
Mad aridlisukun |
Mad Thabi’idiikuti huruf hidup dibaca
waqaf |
c. Kosa kata baru
At-Tabari dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan
dari Ibnu Abas r.a.,bahwa orang-orang Quraisy mendatangi kaum Yahudi dan
bertanya,”Bukti-bukti kebenaran apakah yang dibawa Musa kepadamu?” Dijawab,
“Tongkatnya dan tangannya yang putih bersinar bagi yang memandangnya”.
d. Asbabun Nuzul
Kemudian mereka mendatangi kaum Nasrani
dan menanyakan, “Bagaimana halnya dengan Isa?” Dijawab, “Isa menyembuhkan mata
yang buta sejak lahir dan penyakit sopak serta menghidupkan orang yang sudah
mati.” Selanjutnya mereka mendatangi Rasulullah saw. dan berkata, “Mintalah
dari Tuhanmu agar bukit safa itu jadi emas untuk kami.” Maka Nabi berdoa, dan
turunlah ayat ini (Q.S. Ali 'Imran/3:190-191), mengajak mereka memikirkan
langit dan bumi tentang kejadiannya, hal-hal yang menakjubkan di dalamnya,
seperti bintang-bintang, bulan,dan matahari serta peredarannya, laut,
gunung-gunung, pohon-pohon, buah-buahan, binatang-binatang, dan sebagainya
e. Tafsiran/penjelasan Ayat
1. Memikirkan terciptanya
siang dan malam serta silih bergantinya secara teratur, menghasilkan
perhitungan waktu bagi kehidupan manusia. Semua itu menjadi tanda kebesaran
Allah Swt. bagi orang-orang yang berakal sehat.
2. Tidak ada satu pun
ciptaan Tuhan yang sia-sia, karena semua ciptaan-Nya adalah inspirasi bagi
orang berakal.
3. ciri khas orang
yang berakal, yaitu apabila memperhatikan sesuatu, selalu memperoleh manfaat
dan terinspirasi oleh tanda-tanda besaran Allah Swt. di alam ini.
4. Selalu ingat Allah Swt. dalam segala keadaan, baik waktu berdiri, duduk, maupun berbaring. Setiap waktunya diisi untuk memikirkan keajaiban-keajaiban yang terdapat dalam ciptaan-Nya yang menggambarkan kesempurnaanNya.
Terkait dengan penciptaan langit dalam enam masa ini, banyak para ilmuwan yang terinspirasi untuk membuktikan dalam penelitian-penelitian mereka. Salah satunya adalah Dr. Ahmad Marconi, dalam bukunya Bagaimana Alam semesta Diciptakan, Pendekatan al-Qur’an dan sains Modern (tahun 2003), sebagai berikut:kata ayyam adalah bentuk jamak dari kata yaum. Kata yaum dalam arti sehari-hari dipakai untuk menunjukkan terangnya siang, ditafsirkan sebagai “masa”. Sedangkan “ayyam”bisa diartikan “beberapa hari”, bahkan dapat berarti “waktu yang lama”. Abdullah Yusuf Ali, dalam The Holy Qur’an,Translation and Commentary, 1934, menyetarakan kata ayyam dengan “age” atau “eon” (Inggris). Sementara Abdu Suud menafsirkan kata ayyamdengan “peristiwa” atau “naubat”. Kemudian diterjemahkan juga menjadi “tahap”, atau periode atau masa. Sehingga kata sittati ayyam dalam ayat di atas berarti “enam masa”. Secara ringkas, penjelasan “enam masa” dari Dr. Marconi adalah sebagai berikut:
Masa Pertama, sejak peristiwa Dentuman Besar (Big Bang) sampai terpisahnya Gaya Gravitasi dari Gaya Tunggal (Superforce).
Masa Kedua, masa terbentuknya inflasi jagad raya, namun belum jelas bentuknya, dan disebut sebagai Cosmic Soup (Sup Kosmos).
Masa Ketiga, masa terbentuknya inti-inti atom di Jagad Raya ini.
Masa Keempat, elektron-elektron mulai terbentuk.
Masa Kelima, terbentuknya atom-atom yang stabil, memisahnya materi dan radiasi, dan jagad raya terus mengembang.
Masa Keenam, jagad raya terus mengembang, hingga terbentuknya planet-planet.
Demikian juga dengan silih bergantinya siang dan malam, merupakan fenomena yang sangat kompleks. Fenomena ini melibatkan rotasi bumi, sambil mengelilingi matahari dengan sumbu bumi miring. Dalam fenomena fisika, bumi berkitar (precession) mengelilingi matahari. Gerakan miring tersebut memberi dampak musim yang berbeda. Selain itu, rotasi bumi distabilkan oleh bulan yang mengelilingi bumi. Subhanalloh. Semua saling terkait. Kompleksnya fenomena penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang, tidak akan dapat dipahami dan diungkap rahasianya kecuali oleh para ilmuwan yang tekun, tawadhu’, dan cerdas. Mereka itulah para “ulul albab” yang dimaksud dalam ayat di atas.
Jadi, berpikir kritis dalam beberapa ayat tersebut adalah memikirkan dan melakukan tadabbur semua ciptaan Allah Swt. sehingga kita sadar betapa Allah Swt. adalah Tuhan Pencipta Yang Maha Agung, Maha Pengasih lagi Penyayang, dan mengantarkan kita menjadi hamba-hamba yang bersyukur. Hamba yang bersyukur selalu beribadah (ritual dan sosial) dengan ikhlas.
f. Hakekat berpikir kritis
Definisi tentang berpikir kritis disampaikan oleh Mustaji. Ia memberikan definisi bahwa berpikir kristis adalah “berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan”. Salah satu contoh kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan “membuat ramalan”, yaitu membuat prediksi tentang suatu masalah, seperti memperkirakan apa yang akan terjadi besok berdasarkan analisis terhadap kondisi yang ada hari ini.
Dalam Islam, masa depan yang dimaksud bukan sekedar masa depan di dunia, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu di akhirat. Orang yang dipandang cerdas oleh Nabi adalah orang yang pikirannya jauh ke masa depan di akhirat. Maksudnya, jika kita sudah tahu bahwa kebaikan dan keburukan akan menentukan nasib kita di akhirat, maka dalam setiap perbuatan kita, harus ada pertimbangan akal sehat.
Dari Abu Ya’la yaitu Syaddad Ibnu Aus r.a. dari Nabi saw. Beliau bersabda: “Orang yang cerdas ialah orang yang mampu mengintrospeksi dirinya dan suka beramal untuk kehidupannya setelah mati. Sedangkan orang yang lemah ialah orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya dan berharap kepada Allah dengan harapan kosong”. (HR. At-Tirmizi dan beliau berkata: Hadis Hasan).
Orang yang cerdas juga tahu bahwa kematian
bisa datang kapan saja tanpa diduga. Oleh karena itu, ia akan selalu bersegera
melakukan kebaikan (amal saleh) tanpa menunda.Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:Dan dari Abu Hurairah ra. yang berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda:“Bersegeralah kalian beramal sebelum datangnya tujuh perkara yaitu: Apa yang kalian tunggu selain kemiskinan yang melalaikan, atau kekayaan yang menyombongkan, atau sakit yang merusak tubuh, atau tua yang melemahkan, atau kematian yang cepat, atau Dajjal, maka ia adalah seburuk buruknya makhluk yang dinantikan, ataukah kiamat, padahal hari kiamat itu adalah saat yang terbesar bencananya serta yang terpahit dideritanya?” (HR. at-Tirm³z³dan beliau berkata: Hadis hasan)
Jadi, berpikir kritis dalam pandangan Rasulullah dalam dua hadis di atas adalah mengumpulkan bekal amal salih sebanyak-banyaknya untuk kehidupan pasca kematian (akhirat), karena “dunia tempat menanam dan akhirat memetik hasil (panen)”. Oleh karena itu, jika kita ingin memetik hasil di akhirat, jangan lupa bercocok tanam di dunia ini dengan benih-benih yang unggul, yaitu amal salih.
g. Manfaat berpikir kritis
Adapun manfaat berfikir kritis di
antaranya adalah:
1. Dapat menangkap makna
dan hikmah di balik semua ciptaan Allah Swt.;
2. Dapat mengoptimalkan pemanfaatan
alam untuk kepentingan umat manusia;
3. Dapat mengambil
inspirasi dari semua ciptaan Allah Swt. dalam mengembangkan IPTEKS;
4. Menemukan jawaban dari
misteri penciptaan alam (melalui penelitian);
5. Mengantisipasi
terjadinya bahaya, dengan memahami gejala dan fenomena alam;
6. Semakin bersyukur kepada
Allah Swt. atas anugerah akal dan fasilitas lain, baik yang berada di dalam
tubuh kita maupun yang ada di alam semesta;
7. Semakin bertambah
keyakinan tentang adanya hari pembalasan;
8. Semakin termotivasi
untuk menjadi orang yang visioner;
9. Semakin bersemangat dalam mengumpulkkan bekal untuk kehidupan di akhirat, dengan meningkatkan amal salih dan menekan /meninggalkan kemaksiatan
h. Menerapkan prilaku berpikir kritis
Berikut ini adalah sikap dan perilaku
terpuji yang harus dikembangkan terkait dengan berpikir kritis berdasarkan ayat
al-Qur'an dan hadis di atas ialah:
1.
Senantiasa bersyukur kepada Allah Swt. atas anugerah akal sehat;
2.
Senantiasa bersyukur kepada Allah Swt. atas anugerah alam semesta bagi
manusia;
3.
Melakukan kajian-kajian terhadap ayat-ayat al-Qur'±nsecara lebih mendalam
bersama para pakar di bidang masing-masing;
4.
Menjadikan ayat-ayat al-Qur'±nsebagai inpirasi dalam melakukan
penelitianpenelitian ilmiah untuk mengungkap misteri penciptaan alam;
5.
Menjadikan ayat-ayat kauniyah (alam semesta) sebagai inspirasi dalam
mengembangkan IPTEK;
6.
Mengoptimalkan pemanfaatan alam dengan ramah untuk kepentingan umat
manusia;
7.
Membaca dan menganalisis gejala alam untuk mengantisipasi terjadinya
bahaya;
8.
Senantiasa berpikir jauh ke depan dan makin termotivasi untuk menjadi orang
yang visioner;
9.
Senantiasa berupaya meningkatkan amal salih dan menjauhi kemaksiatan
sebagai tindak lanjut dari keyakinanannya tentang adanya kehidupan kedua di
akhirat dan sebagai perwujudan dari rasa syukur kepada Allah Swt. atas semua
anugerah-Nya;
10.
Terus memotivasi diri dan berpikir kritis dalam merespons semua gejala dan
fenomena alam yang terjadi
B. DEMOKRATIS
a. Q.S. Ali Imran : 159
فَبِمَا رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ
لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ
فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا
عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ ١٥٩
Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah
kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu
ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan
mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya. (Q.S. Ali Imron : 159)
b. Penerapan Tajwid
No. |
Lafaz |
Hukum Bacaan |
Alasan |
1 |
فَبِمَا |
Mad Thabi’i |
Fathah diikuti alif |
2 |
رَحۡمَةٖ مِّنَ |
Idgham bighunah |
Tanwin diikuti huruf mim |
3 |
لِنتَ |
Ikhfa |
Nun mati diikuti huruf ta |
4 |
فَظًّا غَلِيظَ |
Idhar |
Tanwin diikuti huruf ghin |
5 |
لَهُمۡ وَشَاوِر |
Ikhfa safawi |
Mim sukun diikuti huruf waw |
6 |
فِي ٱلۡأَمۡرِۖ |
Izdhar komariyah |
Alif lam sukun diikuti huruf hamzah |
Lafad |
Arti |
Lafaz |
Arti |
فَبِمَا رَحۡمَةٖ |
Dikarenakan kasih sayang/rahmat |
وَٱسۡتَغۡفِرۡ |
Dan memohon ampun |
مِّنَ ٱللَّهِ |
Dari Allah |
لَهُمۡ |
Bagi mereka |
لِنتَ |
Kami bersikap lemah lembut |
وَشَاوِرۡهُمۡ |
Dan bermusyawarahlah |
لَهُمۡۖ |
Kepada mereka |
فِي ٱلۡأَمۡرِۖ |
Dalam segala urusan |
فَظًّا |
Kasar (dalam perkataan) |
فَإِذَا |
Maka apabila |
غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ |
Keras hati |
عَزَمۡتَ |
Kamu bertekad bulat |
لَٱنفَضُّواْ |
Niscaya merema menjauh |
فَتَوَكَّلۡ |
Bertawakalah |
مِنۡ حَوۡلِكَۖ |
Dari sekelilingmu |
يُحِبُّ |
Mencintai |
فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ |
Maka maafkanlah mereke |
ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ |
Orang-orang yang bertawakal |
Sebab-sebab turunnya ayat 159 surat Ali-Imranini kepada Nabi Muhammad saw. sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abas r.a., Ibnu Abas r.a. menjelaskan bahwasanya setelah terjadi perang Badar Rasulullah mengadakan musyawarah dengan Abu Bakar r.a. dan Umar bin Khatab r.a. untuk meminta pendapat mereka tentang para tawanan perang Badar. Abu Bakar r.a. berpendapat, mereka sebaiknya dikembalikan kepada keluarga mereka dan keluarga mereka membayar tebusan. Namun Umar bin Khatab r.a. berpendapat, mereka sebaiknya dibunuh dan yang diperintah membunuh adalah keluarga mereka. Rasulullah saw. kesulitan dalam memutuskan, kemudian turun ayat 159 surat Ali-Imranini sebagai dukungan atas pendapat Abu Bakar r.a. (HR.Kalabi). (Depag, 2011:Al-Quran Tafsir Perkata, hal.72
e. Tafsir/Penjelasan Ayat
Ayat di atas menjelaskan bahwa meskipun dalam keadaan genting, seperti terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dalam perang Uhud sehingga menyebabkan kaum muslimin menderita kekalahan, tetapi Rasulullah saw. tetap lemah lembut dan tidak marah terhadap para pelanggar, bahkan memaafkan dan memohonkan ampun untuk mereka. Seandainya Rasulullah bersikap keras, tentu mereka akan menaruh benci kepada beliau. Dalam pergaulan sehari-hari, beliau juga senantiasa memberi maaf terhadap orang yang berbuat salah serta memohonkan ampun kepada Allah Swt. terhadap kesalahan-kesalahan mereka.
Di samping itu, Rasulullah saw juga senantiasa bermusyawarah dengan para sahabatnya tentang hal-hal yang penting, terutama dalam masalah peperangan. Oleh karena itu, kaum muslimin patuh terhadap keputusan yang diperoleh tersebut, karena merupakan keputusan mereka bersama Rasulullah saw. Mereka tetap berjuang dengan tekad yang bulat di jalan Allah Swt.. Keluhuran budi Rasulullah saw inilah yang menarik simpati orang lain, tidak hanya kawan bahkan lawan pun menjadi tertarik sehingga mau masuk Islam.
Dalam ayat di atas tertera tiga sifat dan sikap yang secara berurutan disebut dan diperintahkan untuk dilaksanakan sebelum bermusyawarah, yaitu lemah lembut, tidak kasar, dan tidak berhati keras. Meskipun ayattersebut berbicara dalam konteks perang uhud, tetapi esensi sifat-sifat tersebut harus dimiliki dan diterapkan oleh setiap muslim, terutama ketika hendak bermusyawarah.
Sedangkan sikap yang harus diambil setelah bermusyawarah adalah memberi maaf kepada semua peserta musyawarah, apapun bentuk kesalahannya. Jika semua peserta musyawarah bersikap “memaafkan” maka yang terjadi adalah saling memaafkan. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi sakit hati atau dendam yang berkelanjutan di luar musyawarah, baik karena pendapatnya tidak diakomodasi atau karena sebab lain.
Dalam al-Qur'an terdapat banyak ayat yang berbicara tentang nilai-nilai dalam demokrasi seperti dalam Firman Allah Swt. di dalam Q.S. al-Isra/17:70, Q.S. al-Baqarah/2:30, Q.S. al-Hujurat/49:13, Q.S. asy-Syura/42:38 serta berbagai surat lain. Inti dari semua ayat tersebut membicarakan bagaimana menghargai perbedaan, kebebasan berkehendak, mengatur musyawarah dan lain sebagainya yang merupakan unsur-unsur dalam demokrasi.
Di samping ayat-ayat tersebut, banyak juga hadis
Rasulullah yang mengisyaratkan pentingnya demokrasi, karena beliau
dikenal sebagai pemimpin yang paling demokratis. Di antaranya adalah
hadis yang menegaskan bahwa beliau adalah orang yang paling suka
bermusyawarah dalam banyak hal, seperti hadits berikut:
Artrinya: “Dari Abu Hurairah, ia berkata, Aku tak pernah melihat seseorang yang lebih sering bermusyawarah dengan para sahabat dari pada Rasulullah saw.” . [HR. at-Tirmizi].
Hadis di atas menjelaskan bahwa menurut pandangan para sahabat, Rasulullah saw adalah orang yang paling suka bermusyawarah. Dalam banyak urusan yang penting beliau senantiasa melibatkan para sahabat untuk dimintai pendapatnya, seperti dalam urusan strategi perang. Sikap Rasulullah tersebut menunjukkan salah satu bentuk kebesaran jiwa beliau dan kerendahan hatinya (tawadhu’), meskipun memiliki status sosial paling tinggi dibanding seluruh umat manusia, yaitu sebagai utusan Allah Swt.. Namun demikian, kedudukannya yang begitu mulia di sisi Allah Swt. itu sama sekali tidak membuatnya merasa “paling benar” dalam urusan kemanusiaan yang terkait dengan masalah ijtihadiy(dapat dipikirkan dan dimusyawarahkan karena bukan wahyu), padahal bisa saja Rasulullah memaksakan pendapat beliau kepada para sahabat, dan sahabat tentu akan menurut saja. Tetapi itulah Rasulullah, manusia agung yang tawadhu’ dan bijaksana.
Sikap rendah hati Rasulullah hanya satu dari akhlak mulia lainnya, seperti kesabaran dan lapang dada untuk memberi maaf kepada semua orang yang bersalah, baik diminta atau pun tidak. Itulah Rasulullah, teladan terbaik dalam berakhlak.
Dari ayat al-Qur'an dan hadis Nabi tersebut dapat
dipahami bahwa musyawarah termasuk salah satu kebiasaan orang yang beriman. Hal
ini perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim terutama dalam
hal-hal yang memang perlu dimusyawarahkan, misalnya: Hal yang sangat penting,
sesuatu yang ada hubungannya dengan orang banyak/masyarakat, pengambilan
keputusan dan lain-lain. Dalam kehidupan bermasyarakat, musyawarah menjadi
sangat penting karena:
a.
Permasalahan
yang sulit menjadi mudah setelah dipecahkan oleh orang banyak
lebih-lebih kalau yang membahas orang yang ahli.
b.
Akan terjadi
kesepahaman dalam bertindak.
c.
Menghindari
prasangka yang negatif, terutama masalah yang ada hubungannya dengan orang
banyak
d.
Melatih diri
menerima saran dan kritik dari orang lain
e.
Berlatih
menghargai pendapat orang lain.
f. Demokrasi dan Syura
Selama ini demokrasi diidentikkan dengan syura dalam Islam karena adanya titik persamaan di antara keduanya. Untuk melihat lebih jelas titik persamaan tersebut, perlu kita lihat jati diri masing-masing dari keduanya.
1. Demokrasi
Secara kebahasaan, demokrasi terdiri atas dua rangkaian kata yaitu “demos” yang berarti rakyat dan “cratos” yang berarti kekuasaan. Secara istilah, kata demokrasi ini dapat ditinjau dari dua segi makna.
Pertama, demokrasi dipahami sebagai suatu konsep yang berkembang dalam kehidupan politik pemerintah, yang di dalamnya terdapat penolakan terhadap adanya kekuasaan yang terkonsentrasi pada satu orang danmenghendaki peletakan kekuasaan di tangan orang banyak (rakyat) baik secara langsung maupun dalam perwakilan.
Kedua, demokrasi dimaknai sebagai suatu konsep yang
menghargai hakhak dan kemampuan individu dalam kehidupan bermasyarakat.
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa istilah demokrasi awalnya berkembang dalam dimensi politik yang tidak dapat dihindari.
Secara historis, istilah demokrasi memang berasal dari Barat. Namun jika melihat dari sisi makna, kandungan nilai-nilai yang ingin diperjuangkan oleh demokrasi itu sendiri sebenarnya merupakan gejala dan cita-cita kemanusiaan secara universal (umum, tanpa batas agama maupun etnis).
2.
Syura
Menurut bahasa, dalam kamus Mu’j±m Maq±yis al-Lugah,
syµra memiliki dua pengertian, yaitu menampakkan dan memaparkan sesuatu atau
mengambil sesuatu.
Sedangkan menurut istilah, beberapa ulama terdahulu
telah memberikan definisi syµra, di antara mereka adalah:
a. Ar Raghib al-Ashfahani dalam
kitabnya Al Mufradat fi Gharib alQur'an, mendefinisikan
syura sebagai “proses mengemukakan pendapat dengan saling mengoreksi antara
peserta syµra”.
b. Ibnu al-Arabi al-Maliki dalam Ahkam
al-Qur'an, mendefinisikannya dengan “berkumpul untuk meminta pendapat (dalam
suatu permasalahan) yang peserta syµr±nya saling mengeluarkan pendapat yang
dimiliki”.
c. Sedangkan definisi syµra yang diberikan oleh pakar fikih kontemporer dalam asy Syµra fi zilli Nizami al-Hukm al-Islami,di antaranya adalah “proses menelusuri pendapat para ahli dalam suatu permasalahan untuk mencapai solusi yang mendekati kebenaran”.
3. Titik Temu (Persamaan) antara Demokrasi dan Syµra
Dari beberapa definisi Syµra dan demokrasi di atas, dapat melihat bahwa Syµra hanya merupakan mekanisme kebebasan berekspresi dan penyaluran pendapat dengan penuh keterbukaan dan kejujuran. Hal tersebut menjadi pertanda adanya penghargaan terhadap pihak lain. Sementara demokrasi, menjangkau ruang lingkup yang lebih luas. Demokrasi menyoal nilai-nilai egaliter, penghormatan terhadap potensi individu, penolakan terhadap kekuasaan tiran, dan memberi kesempatan kepada semua pihak untuk berpartisipasi dalam mengurus pemerintahan. Secara tegas demokrasi bermain pada wilayah politik. Jika demikian halnya, maka pada satu sisi, Syµra merupakan bagian dari proses berdemokrasi. Di dalamnya terkandung nilai-nilai yang diusung demokrasi. Pada sisi lain, nilai-nilai luhur yang diusung oleh konsep demokrasi adalah nilai-nilai yang sejalan dengan visi Islam itu sendiri. Nilai Islami bukanlah sesuatu yang berasal dari kaum muslimin saja (dari dalam), tetapi semua nilai yang mengandung kebaikan dan kemaslahatan, baik dari Barat maupun Timur, karena Islam tidak mengenal Barat dan Timur (diskriminasi), justru sikap Islam terhadap hal-hal baru yang baik adalah “akomodatif”.
Namun demikian, pro dan kontra tentang demokrasi dalam Islam masih terus berlanjut. Oleh karena itu, untuk mempertajam analisis kalian dalam menyikapi konsep demokrasi, ada baiknya kalian mengenali lebih lanjut pandangan-pandangan para ulama tentang hal tersebut.
g. Pandangan Ulama (Intelektual Muslim) tentang Demokrasi
Secara garis besar, pandangan para ulama/cendekiawan muslim tentang demokrasi terbagi menjadi dua pandangan utama, yaitu; pertama, menolak sepenuhnya, kedua, menerima dengan syarat tertentu. Berikut ditamplkan ulama yang mewakili kedua pendapat tersebut:
1. Abul A’la Al-Maududi
Al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern (Barat) merupakan sesuatu yang bersifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan).
2. Mohammad Iqbal
Menurut Iqbal, sejalan dengan
kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi
spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama.
Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang
bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya,
menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah
kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah
konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi
yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich, seperti yang dipraktekkan di
Barat.
Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai
berikut:
a.
Tauhid
sebagai landasan asasi.
b.
Kepatuhan
pada hukum.
c.
Toleransi
sesama warga.
d.
Tidak
dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit.
e. Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad.
3. Muhammad Imarah
Menurut Imarah, Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah Swt.. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah Swt.. Jadi, Allah Swt. berposisi sebagai al-Syâri’(legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqîh(yang memahami dan menjabarkan hukum-Nya).
Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Dia membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam, Allah Swt. pemegang otoritas tersebut. Allah berfirman: “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”. (Q.S.al-A’râf/7:54). Inilah batas yang membedakan antara sistem syariah Islam dan demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.
4. Yusuf al-Qardhawi
Menurut Al-Qardhawi, substasi demokrasi sejalan dengan
Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal, misalnya sebagaimana berikut:
a.
Dalam
demokrasi proses pemilihan melibatkan banyak orang untuk mengangkat seorang
kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka
tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan
Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam salat yang tidak disukai oleh
ma'mum di belakangnya.
b.
Usaha setiap
rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan
amar ma'ruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin
adalah bagian dari ajaran Islam.
c.
Pemilihan
umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak
menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi
kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak,
berarti ia telah menyalahi perintah Allah Swt. untuk memberikan kesaksian pada
saat dibutuhkan.
d.
Penetapan
hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip
Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk
Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara
mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya
yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan
tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka, yaitu
Abdullah ibnu Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam
masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama
tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas.
e. Kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.
5. Salim Ali al-Bahasnawi
Menurut Salim Ali al-Bahasnawi, demokrasi mengandung
sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan Islam dan memuat sisi negatif
yang bertentangan dengan Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan
rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah
penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap
menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram.
Karena itu, ia menawarkan adanya Islamisasi demokrasi
sebagai berikut:
1. Menetapkan tanggung jawab setiap
individu di hadapan Allah Swt..
2. Wakil rakyat harus berakhlak Islam
dalam musyawarah dan tugastugas lainnya
3. Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam
kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam al-qur'±ndan Sunnah
(Q.S.an-Nis±/4:59)dan (Q.S.al-Ahz±b/33:36).
4. Komitmen terhadap Islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.
h. Menerapkan Perilaku Mulia
Perilaku demokratis yang harus dibiasakan sebagai
implementasi dari ayat dan hadis yang telah dibahas antara lain sebagai
berikut:
1.
Bersikap
lemah lembut jika hendak menyampaikan pendapat (tidak berkata kasar ataupun
bersikap keras kepala);
2.
Menghargai
pendapat orang lain;
3.
Berlapang
dada untuk saling memaafkan;
4.
Memohonkan
ampun untuk saudara-saudara yang bersalah;
5.
Menerima
keputusan bersama (hasil musyawarah) dengan ikhlas;
6.
Melaksanakan
keputusan-keputusan musyawarah dengan tawakal;
7.
Senantiasa
bermusyarawarah tentang hal-hal yang menyangkut kemaslahatan bersama;
8.
Menolak
segala bentuk diskriminasi atas nama apapun;
9.
Berperan
aktif dalam bidang politik sebagai bentuk partisipasi dalam membangun bangsa;